Jumat, 25 Februari 2011

Ulama Sodoqun dan Ulama Solihun

Ada dua kelompok ulama. Ada as sodiqun mislu rusul ada as solihun. Maksud mitslu Rusul itu dalam pengertian as Sodikun adalah ulama yang oleh Allah dikuatkan dengan karamat yang dzahir sebagaimana para Rasul yang dikuatkan oleh Allah dengan mu’jizat. Seperti ada orang yang mau beriman berkata; tandanya anda rusul apa, saya mau buktinya, saya minta mu’jizatnya. Nah rasul di sini wajib menunjukkan mu’jizatnya.

Demikian pula auliya’-auliya’ itu. Seperti Syekh Abdul Qodir Al Jaelani. Beliau ditanya apa buktinya kalau Nabi Muhammad bisa menghidupkan orang mati. Syekh Abdul Qodir al Jaelani menjawab, ‘Terlalu tinggi kalau Nabi saya. Bagaimana dengan Nabimu?’ Orang yang bertanya berkata, “Nabiku bisa menghidupkan orang yang telah mati.” “Caranya bagaimana?,” lanjut Syekh Abdul Qadir. “Nabiku mengatakan, ‘Qum bi idzinillah,’ hiduplah dengan seijin Allah,” jawab orang itu. “Oke carikan saya orang mati,” pinta Syekh Abdul Qadir.


Syekh Abdul Qodir al Jaelani langsung meng¬hidupkan orang mati itu dengan berkata; ‘Qum Bi Idzni,’ hidup¬lah dengan seijinku. Jangankan Nabi-ku, aku saja bisa. Nabi terlalu tinggi, kata Syekh Abdul Qodir al Jaelani. ‘Qum bi idzni”, bukan bi idznillah lagi karena apa, untuk melemahkan orang yang meremeh¬kan Nabi, atau yang tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW. Syekh Abdul Qadir Al Jailani tidak memakai kata-kata ‘Bi Idznillah’, tapi ‘Qum Bi Idzni’ hakikatnya Syekh Abdul Qodir al Jaelani tetap memohon kepada Allah SWT. Seperti juga karomah Habib Umar bin Thoha Indaramayu waktu bertandang ke Sultan Alaudin, Palembang. Dan seperti Al Habib Alwi bin Hasyim bisa menghidupkan orang mati, tentu saja atas seijin dan kuasa Allah SWT.

Para ulama dan para auliya’ menolong kepercayaan kita atas kebenaran yang dibawa Al Quran; seperti bagaimana ashabul kafi. Ashabul kahfi bukan rasul, mereka adalah wali. mereka tidur sampai 360 tahun. Bayangkan saja. Terus karamat Juraij, karamat Luqmanul Hakim dan banyak lagi yang dicaritakan al Al Quran. Seperti juga Nabi Allah Sulaiman. Dikisahkan dalam al Qur’an beliau bisa berbicara dengan burung.

Wali Allah di Indonesia pun ada yang bisa berbicara bahasa hewan, seperti Mbah Adam dari Krapyak, Pekalongan. Auliya-auliya kita itu dulu begitu. Banyak lagi cerita auliya-auliya ulama-ulama di Indonesia. Ulama Jawa yang karamatnya luar biasa, seperti Mbah Sholeh Semarang, Mbah Kholil Bangkalan, banyak kalau kita ceritakan. Akhirnya dengan adanya yang demikian, kita percanya mantap dengan apa yang disebutkan oleh Al Quran;

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS: Yunus:62) Dari perilaku, sikap, dan karamat-karamat mereka kita tahu juga bagaimana gambaran dari;


إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS: Fathir: 28). Kita sudah tidak heran lagi kanapa yang disebut dalam ayat itu adalah ulama. Nah itulah hebatnya auliya-auliya terdahulu, luar biasa, mem¬punyai karamat yang top-top. Banyak lagi kalau diceritakan. Dan kita akan menemukan auliya-auliya yang ada di Indonesia ini luar biasa-luar biasa karamat¬nya. Nah tujuan dari semua ini adalah menolong kita, yang awalnya kepercayaan terhadap sahabat sangat tipis, suudzon, berburuk sangka dan sebagainya, ditolong oleh para ulama dan para wali-wali Allah SWT.

Kembali kepada para sahabat Nabi. Sahabat Nabi adalah orang atau generasi pertama yang menerima tongkat estafet dan mewarisi apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ada banyak hal yang membuat saya kagum ketika saya ber¬bicara tentang keutamaan para sahabat Nabi itu.

Di antaranya saja; kehebatan dan kuatnya keimanan mereka. Saya tidak akan menyebut¬kan yang lain-lain, kita tidak sampai. Dalam istilah jawa itu; kali sak dodo. Sekarang kita lihat bagaimana banyaknya tafsir-tafsir yang menjelaskan maksud Al Qur’an ada ribuan bahkan mungkin jutaan. Satu judul tafsir saja ada yang 50 jilid, 60 jilid. Seperti At Thabari, Fakhru Razi, atau juga yang baru-baru seperti tafsir Syekh Thanthawi. Banyak sekali. Belum lagi yang mem¬bahas fiqih, tauhid dan lain-lain.
Semenatara pada jaman sahabat dulu tidak ada kitab yang menumpuk seperti saat ini. Jangankan kitab, menulis pun tidak, karena banyak di antara mereka yang umiy’; tidak bisa baca-tulis. Begitu ada wahyu disampaikan oleh Rasulullah SAW pada sahabat, dihapal¬kan, dan mereka langsung hapal, langsung percaya, langsung yakin.

Ilmu mereka adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa wahyu atau hadits yang disampaikan oleh Rasullah. Tapi dengan kesederhanaan itu dapat menghasilkan satu keyakinan yang luar biasa yang terpatri dalam hati mereka. Keyakinan yang hebat itu mewarnai dalam ijtihadnya dalam mujahadahnya dan sebagainya. Banyak hadits yang menceritrakan bagaimana kekuatan dan kehebatan keimanan mereka yang luar biasa, bagaimana kecintaan mereka kapada Rasulullah, juga bagaimana kecintaan mereka kepada satu sama lain diantara para sahabat, kecintaan sahabat kepada ahlu bait-nya Rasulullah SAW.

Contohnya sahabat Bilal, bagaimana kecintaan beliau kepada Rasulullah. Pada waktu Rasulullah meninggal, langsung sahabat Bilal mengundurkan diri sebagai muadzin, sebab tidak sampai hati beliau mendengungkan kalimat Allahu akbar. Biasanya dilihat oleh Rasulullah dan sahabat lainnya, sementara pada saat itu Rasul telah mangkat. Sehingga bagaimana mungkin beliau bisa mengeluar¬kan suara sementara Rasulullah SAW yang selalu mendengar adzannya sudah tidak ada. Ketika mau adzan suaranya tidak mau keluar suaranya hilang. Karena apa? Sayidina Bilal Shock, karena mahabbah, kecintaan yang luar biasa kepada Rasulullah SAW. Sahabat Bilal bungkam, diam di Madinah sampai Rasulullah dimakamkan. Setelah Rasulullah SAW dimakamkan sahabat Bilal tidak betah. Lalu sahabat Bilal pindah ke Syam (Syiria).

Di Syam tadinya sahabat Bilal membayangkan akan mendapatkan sedikit ketenangan, tapi malah sebaliknya yang terjadi, terbayang wajahnya Rasulullah di mukanya terus, ahirnya ditemui oleh Rasulullah dalam mimpi. Ditanya oleh Rasulullah, ‘Bilal mengapa engkau tinggal ditempat yang jauh betul dari Aku, katanya engkau ingin dekat dengan Aku, mengapa kamu pundah ke Syam?’ Langsung hari itu juga Sahabat Bilal pulang ke Madinah Al Munawroh, begitu sahabat Bilal ziarah ke makam Rasulullah, Sayidina Abu Bakar mendengar Sayidina Umar mendengar, mereka langsung menemui sahabat Bilal. Dan ziarah bersama. Sayidina Abu Bakar menangis. ‘Hai Bilal kapan datang?’ Tanya Khalifah Abu Bakar.

Mereka menangis rangkul-rangkulan. Kemudain Sahabat Abu Bakar meminta sayidina Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan di Madinah; ‘tolong dengung¬kan kembali adzanmu sebagaimana zaman Rasulullah.’ ‘Mulutku tidak bisa di buka,’ jawab Sayidina Bilal. Sayidina Umar yang juga meminta ke¬sediaan sahabat Bilal mendapat jawaban yang sama.

Akhirnya di sana ada 2 anak. Yang satu umurnya 9 tahun, yang satu umurnya 8 tahun, siapa mereka? Mereka adalah Imam Hasan dan Husain; dua orang cucu Nabi. Imam hasan dan Husain datang kepada Sahabat Bilal, begitu sahabat Bilal tahu, langsung menjemput kedatangan Imam Hasan dan Imam Husain. langsung dirangkul, begitu mencium kedua cucu Nabi, tambah sedih lagi sahabat Bilal, beliau kembali menangis. Karena apa? Keringat kedua anak ini tadi seperti keringat datuknya; baginda Nabi SAW. Luar biasa.

Akhirnya dua orang ini berbicara. ‘Ya Bilal’ kata Sayidina Hasan yang saat itu ditemani adiknya; Imam Husain; ‘Tolong kumandangkan kembali adzan, sebagaimana engkau lakukan pada zaman datukku baginda Rasulullah SAW’. Dari situlah sahabat Bilal luluh. ‘Kalau yang memerintah adalah dua anak ini, mana mungkin aku bisa menolak. Karena ini adalah sempalan dari darah daging Rasulullah SAW. Kalau saya menolak, nanti di akherat bagaimana bertemu dengan baginda Rasul SAW,’ pikir sahabat Bilal.

Kemudian sahabat Bilal naik ke menara menunaikan adzan, ketika sahabat Bilal adzan seluruh penduduk Madinah, tidak anak kecilnya, tidak orang dewasanya, semua keluar dari rumahnya masing-masing sambil mengatakan Rasulullah hidup kembali-Rasulullah hidup kembali. Karena apa, mendengar suaranya Bilal. Sebab ketika sahabat Bilal adzan selalu selalu pas dengan baginda Rasulullah SAW. Mereka semua keluar berduyun duyun mendengar suaranya Bilal ra.
Sumber : Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya

Profil Singkat Habib Abu Bakar Bin Yahya Geritan


Pekalongan bukan kota baru, Pekalongan adalah kota tua. Dapat dikatakan Pekalongan termasuk kota tertua di Jawa. Di Jawa ada tiga kota tua; Jeporo, Pekalongan dahulu lebih dikenal Plelen atau Alasroban. Plelen itu mulai dari pantai utara Pekalongan sampai Weleri disebut Alasroban. Alasroban itu bukan berarti hanya Waleri Banyu Putih dari Subah sampai pantai utara itu disebut Alasroban. Dijaman sebelum wali 9 Pekalongan sudah ada. Bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa Pekalongan itu kota tua bisa dilihat dari bukti-bukti peninggalan sejarah terutama makam-makam tua yang ada di Pekalongan, Batang dan sekitarnya. Karena dulu Batang termasuk kabupaten Pekalongan.



Kita ambil mulai dari Syekh Jamaludin Husen dahulu. Beliau dengan rombongannya berlabuh melalui Pasai. Beliau kelahiran dari Indo-Cina, daerah Kamboja, Vietnam dan sekitarnya. Ibu beliau dari Champa ayah beliau Ahmad Syah Jalal adalah kelahiran India dan ayah Syah Jalal adalah menantu raja India Naser Abad. Ahmad Syah Jalal menikah dengan putri raja Champa. Putri Champa itu melahirkan Syekh Jamaludin Husen.dari Jamaludin Husen beliau mempunyai anak 11. Itulah kakek dari wali 9. Perjalanan Syekh Jamaludin dengan para ulama yang dari Timur Tengah. Ada juga yang dari Maroko. Maka rombongan tersebut ada yang menyebut al Maghrobi-al maghrobi. Rombongan tersebut yang pertemuannya Dipasai langsung menuju Jawa, tepatnya Semarang.



Dari Semarang meneruskan perjalannya ke Trowulan-Mojokerto. Karena akhlaknya dan budi pekertinya yang baik beliau sangat di hormati di Maja Pahit. Meskipun beda agama pada waktu itu, beliau mendapat beberapa sebidang tanah dari Gajah Mada. Terutama membuat sebuah padepokan pendidikan yang mana santri beliau itu tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Selain itu juga karena sangat popular maka disbut syekh Jumadil Kubro. Rombongan beliau berpencar dalm menjalankan tugasnya masing-masing. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian kecil ke Jawa Barat. Dan makam-makam beliau dinamakan almaghrobi-al maghrobi. Kalau makam almaghrobi itu banyak sekali, pantas, karena orangnya bukan satu tapi banyak.

Rombongan kedua dipimpin oleh dua tokoh.yang pertama Malik Ibrohimdan Sayid Ibrohim Asmoro qondi atau Pandito Ratu. Ketika itu, rombongan Malik Abdul Ghofur yang juga merupakan kakak Malik Ibrohim yang disebut juga Almaghrobi-almaghrobi. Rombongan ini lebih banyak dari sebelumnya. Malik Ibrohim itu cucu dari Syekh Jumadil Kubro. Rombongan ini juga berpencar, dan diantara robongan-rombongan tersebut ada yang ke Pekalongan sekitar 25 al Maghrobi. Makam beliau juga terpencar-terpencaer dengan nama Maulana Maghrobi.

Diantaranya Prabu Siliwangi memanggil beliau itu kakek (pernahnya).Jadi Maulan Maghrobi itu lebih tua dari Prabu Siliwangi. Diantara anggota rombongan ada yang wafat satu orang. Yang wafat ini dimakamkan di pesisir Semarang. Juga dikenal dengan Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kali Gawe. Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, namanya yang pertama Syarifudin Abdullah, Hasan alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di dareh Blado Wonobodro. Terus yang dua orang lagi Ahmad al Maghrobi dan Ibrohim Almaghrobi tingal di daerah Bismo. Tiga tokoh tersebut dimakamkan di Bismo dan Wonobodro. Yang di Bismo membangun masjid di Bismo yang di Wonobodro membangun masjid di Wonobodro. Terus yang disetono Abdul Rahman dan Abd Aziz Almaghrobi.

Diantaranya lagi Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas angina. Jadi Almaghrobi tersebut empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim dan generasi Sunan Ampel. Termasuk yang dimakam kan di Paninggaran, daerah Sawangan; Wali Tanduran. Beliau itu termasuk generasi kedua walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran. Kalau dalam bahasa Sunda Paninggaran itu berarti cemburu.
Di Pekalongan ini masih terpengaruh, sebagian Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit terus kebarat ikut Pajajaran kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa sunda seperti ada nama tempat, Cikoneng Cibeo di daerah sragi.

Kalau kita melihat pertumbuhan islam pada waktu itu yang dibawa oleh beliau-beliau belum al Magrobi-Almaghrobi. Yang 25 tersebut sebagian dimakamkan di Wonobodro, sebelum wali 9 yang masyhur itu, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dll, itu sudah ada wali sembilan seperti lembaga wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan itu seperti Wali Abdal, Wali Abdal itu ada 7. Wafat satu akan ada yang menggantikannya, wafat satu ganti, wafat satu ganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian. Termasuk Kigede Penatas Angin itu wali 9, yang Wonobodro juga bagian dari wali Sembilan, tentunya generasi sebelum wali Sembilan yang masyhur itu.

Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis. Pada waktu wali 9 dijaman Sunan Gunung Jati diantaranya sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Juga yang namanya Kiyai Gede Gambiran di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi sekarang Gambiran sendiri sudah tidak ada. Ada lagi Sayid Husen didaerah Medono dikenal makam Dowo Syarif Husen, beliau itu juga hidup dijaman wali 9. Diantara tahun 1590 an, sebelim masuk pejajahan Belanda.

Pekalongan walaupun tidak banyak disebut dalam sejarah Demak tapi dekat hubungannya dengan kerajaan Demak. Pekalongan tahun1900 lebih seadikit pelabuhannya didaerah Loji daerah hilir. Makanya didaerah sekitar nama-nama desanya seperti Bugis; Bugisan, Sampang; Sampangan, itu diantaranya. Pekalongan pada waktu itu sudah mulai maju. Dalam pendidikan agama, ekonomi dan lain s sebagainya. Di Dieng dan daerah sekitarnya ada beberapa Candi. Itu menunjukkna kultur di Pekalongan sudah maju. Di daerah Reban sampai Blado itu pernah ditemukan situs air langga. Itu semua menunjukan kalau Pekalongan sudah tua, hanya kita belum menemukan bukti secara kongritnya. Pekalongan pada waktu itu sudah maju, diantara buktinya pada jaman Sultan Agung Pekalongan pada waktu itu sudah mendapat kepercayaan menjadi tempat lumbung-lumbung padi atau beras.

Dan diantara tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu, di adalah tokoh yang di makamkan di Sapuro, yaitu Ki Gede Mangku Bumi sayang makamnya sudah rusak. Jaman almarhum Pak Setiono saya masih sempat meminta untuk menulis tentang tokoh itu. Beliau meninggal pada tahun 1517 Masehi, makamnya di Sapuro belakang masjid. Ada lagi walaupun aslinya dari Bupati Pasuruan Raden Husen Among Negoro, beliau meninggal tahun 1665 dimakamkan di belakang masjid Sapuro. Beliau adalah Putra Tejo Guguh, Putra bupati Kayu-Gersik ke dua. Beliau ini yang menurunkan bupati Pekalongan yang pertama. Pada waktu itu penduduk sudah ramai disusul dengan beberapa tokoh yang lain seperti Ki Hasan Sempalo atau Kyai Ahmad Kosasi adalah menantu beliau.

Bupati Pekalongan yang namanya Adipati Tanja Ningrat meninggal tahun 1127 H. Dimakamkan di Sapuro juga sejaman dengan Jayeng Rono Wiroto putra Amung Negoro. Kiyai Gede Hasan Sempalo. Dan di Noyontaan (Jl. Dr. Wahidin) ada Kiyai Gede Noyontoko hingga desa tersebut disebut Noyontaan, sebabwaktu tokoh yang membuka adalah Ki Gede Noyontoko. makamnya di dalam Kanzus Sholawat. Dulu di belakang rumahnya Pak Teko meninggal tahun 1660 M. dan banyak lagi seperti Wali Rahman di Noyontaan, dulu di Tikungan jl toba atau di depan pabrik Tiga Dara sekarang makam nya sudah hilang.

Sesudah pekalongan mulai rame datang pula tokoh-tokoh yang popular datang dari Hadramaut Yaman beliau adalah Habib Abubakar bin Toha. Habib Abu Bakar lahir didaerah Tarim namanya daerah Gorot. Makanya kayu geritan itu berasal dari kata Gorot. Sekitar abad 17 sebelum masuk Indonesia beliau berdakwah di India, Malaysia, Malaka, Pasai lalu Kalimantan. Beliau pernah tinggal di sebuah desa namanya Angsana daerah Kalimantan Selatan dan masuk ke Surabaya menuju ke Jogja. Beliau dikenal sebagai tokoh pendamai; baliaulah yang menyatukan menyelesaikan sengketa-sengketa. Beliau sangat tinggim ilmunya dan sangat di segani. Beliau mendapatkan gelar Penembahan Tejo Hadi Kusumo. Setelah itu beliau masuk di Pekalongan tinggal di daerah Karang Anyar.

Habib Abu bakar masuk daerah ini karena urutanya dekat dengan Ki Hasan Cempalo, beliau mendirikan padepokan. Kiyai Bukhori salah seorang tokoh pernah menceritakan kalau dijaman nabi beliau seperti sahabat nabi, maksudnya kedudukan kewaliaanya sangat tinggi beliau termasuk golongan Bin Yahya. Pertamakali masuk ke daerah wonopringgo. Guru beliau banyak sekali diantaranya pengarang kitab Nashoih Addiniyah; al Habib Abdullah bin Alwi al Hadad. Dan murid Habib Alwi Al Hadad di Indonesia banyak sekali.

Habib Abu Bakar meninggal tahun 1130. Gurunya adalah paman dan ayahnya sendiri yang sangat popular kewaliannya dan banyak lagi guru-guru yang lain. Dan murid-murid beliau di Pekalongan dan luar Pekalongan banyak sekali. Termasuk kakennya Kyai Nurul Anam dimakamkan di Kayu Geritan juga. Daerah dakwahnya terpencar. selain mengajarkan ilmu agama juga ilmu yang lainnya seperti ilmu kelautan dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau dan kakaknya; bertiga, Sayid Abdurahman, Sayid Abu Bakar dan sayyid Muhammad Qadhi.

Sayyid Abdurahman di Cirebon dan Sayyid Muhammad Qodli di Semarang Terboyo. Beliau mendapat gelar banyak selain sunan Qodli juga gelar Ki Gede Semarang. Beliau; Syekh Abu Bakar bin Toha juga sangat gigih memimpin dalam melawan Belanda. Ketiga kakak-adik tersebut hampir sama dalam pola dakwahnya, dan juga sama-sama sangat gigih dalam melawan Belanda. Selain makam beliau di Kayu Geritan juga ada makam kasepuhan lainnya, diantaranya Qodli Shon’a, juga dua pamenang atau prajurit dari Mataram.

Lalu kakenya dan ayahnya Nurul Anam dan tokoh ke bawah Kiyai Utsman, Kiyai Asy’ari Karang Anyar. Beliau itu juga dimakam kan di Kayu geritan. Kalau kiyai utsman sebelah barat Kiyai Asy’ari sebelah timur. Tokoh-tokoh dahulu yang ziarah ke Kayu Geritan ini adalah tokoh-tokoh yang top semuanya. Habib Hasyim selain sering ziarah ke makam Habib Abu Bakar bin Thoha ini, juga sumbernya sejarah makam ini. Selain sumbernya dari beliau, saya juga mengambil dari beberapa kitab diantaranya kitab punya Sayyid bin Tohir Mufti Johor Malaysia. namanya Alatho’if, dan buku-buku atau kitab-kitab silsilah. Jadi ada bukti sejarahnya dan jelas kita tidak ngawur dalam hal ini.
(Hasil wawancara Kabag Humas Kab. Pekalongan pada Al-Habib M. Lutfi bin Yahya di Kayu Geritan/nzr/ts/hly.net)

Foto KH Hasyim Asy'ari Wajib Dipasang

Rais Aam Idaroh Aliyah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya mewajibkan warga Nahdliyyin, khususnya para pengurus NU untuk memasang foto tokoh pendiri NU dan pahlawan nasional, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, di rumah masing-masing. Pasalnya, pemimpin tertinggi organisaasi tarekat-tarekat NU itu khawatir, saat ini para generasi muda NU banyak tidak tahu wajah tokoh penting di balik kebesaran Nahdlatul Ulama.

Habib luthfi perihatin akan nasib NU ke depan. Tokoh NU Kota Pekalongan yang juga Ketua Umum MUI Jawa Tengah itu beberapa waktu lalu meminta para Pengurus NU Kota Pekalongan agar di masing-masing rumah warga Nahdliyyin terpasang foto Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dan pahlawan nasional.

Bak gayung bersambut, gagasan Habib Luthfi disambut PCNU dengan pencanangan gerakan pemasangan foto KH Hasyim Asy'ari bersamaan dengan acara istighotsah kubro yang berlangsung Jum'at (1/2) malam ditandai dengan penyerahan foto KH Hasyim Asya'ri berukuran 40 x 50 cm dalam bingkai kaca kepada perwakilan MWC NU, Lembaga NU, Badan Otonm NU dan Ranting NU.

Diharapkan seluruh rumah pengurus NU di semua tingkatan dalam bulan Pebruari ini sudah dipasangi foto KH Hasyim Asya'ri yang difasilitasi PCNU Kota Pekalongan dengan mencetak foto dalam bentuk poster.

Wakil ketua PCNU Kota Pekalongan Abdul Basyir mengatakan, secara bertahap PCNU akan menerbitkan buku sejarah sepak terjang tokoh-tokoh NU khususnya yang ada di Kota Pekalongan dengan harapan agar generasi penurus yang tergabung dalam wadah IPNU dan IPPNU tidak kehilangan panutan dan jejak yang amat penting bagi perkembangan NU di Kota Pekalongan.

Sementara itu tidak kurang dari sepuluh ribu warga NU Pekalongan dan sekitarnya Jum'at (1/2) malam lalu menghadiri acara istighotsah kubro yang digelar PCNU Kota Pekalongan dalam rangka memperingati Hari Lahir ke-82 Nahdlatul Ulama.

Acara yang digelar di Masjid Agung Al Jami' Kota Pekalongan mendapat perhatian penuh dari warga masyarakat. Pasalnya dalam acara itu dua tokoh ulama besar yakni Habib Luthfi dan Habib Abdullah Baqir bin Abdullah Alatas ikut hadir dan larut dalam gema istighotsah, sehingga jama'ah yang dengan hadir dengan busana putih putih tampak larut dalam do'a agar bangsa Indonesia lepas dari berbagai musibah.

Bahkan untuk memudahkan jama'ah dapat melihat susana depan panggung, pihak panitia harus menyediakan monitor besar, sehingga jama'ah tidak perlu lagi berdesakan untuk menempati ruangan utama masjid Agung Al Jami'.

Meski demikian, serambi dan halaman masjid yang cukup luas itu akhirnya tak mampu juga menampung ribuan jama'ah yang terus berdatangan hingga acara berlangsung hampir separohnya.

Humas Panitia Zainal Muhibbin SPd kepada NU Online mengatakan, istighotsah kubro ini merupakan puncak acara harlah yang di gelar PCNU Kota Pekalongan sejak tanggal 10 Januari 2008 yang lalu.

Beberapa kegiatan ujar Muhibbin telah dilakukan dan mendapat sambutan masyarakat yang cukup meriah, antara lain bersih-bersih masjid dan musholla NU, pengobatan gratis massal, donor darah, malam tasyakuran, ziarah makam ulama pejuang NU dan puncaknya digelar istighotsah ini.

"Saya tidak menduga kalau acara yang digelar NU mendapat sambutan yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat di setiap acara yang digelar untuk memperingati Harlah NU," katanya.

"Tentu ini menjadi garapan NU ke depan bagaimana antusias masyarakat ini sebagai bukti bahwa mereka masih sangat mencintai NU," ujar Muhibbin lagi.

"Meski disadari bahwa kegiatan kolosal seperti pengobatan gratis, donor darah dan istighotsah kubro ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi kalau hal ini untuk masa depan dan kebesaran Nahdlatul Ulama, berapapun biaya yang harus dikeluarkan itu bukan masalah," tandasnya.

Walhasil, acara peringatan harlah menandai kegiatan awal pengurus NU periode 2007-2012 telah mendapat respon masyarakat dengan baik, tinggal ke depan bagaimana pengurus baru dapat merealisasikan program-programnya yang dapat menyentuh kebutuhan warga nahdliyyin khususnya dalam penanganan pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang saat ini masih menjadi kebutuhan prioritas warga NU di Kota Pekalongan.

Kamis, 10 Februari 2011

Syaikh Abdul Malik bin Muhammad llyas



Di Karsidenan Banyumas ada seorang ulama dan waliyullah, dia dinggap sebagai Sesepuhnya. Beliau adalah Syaikh Abdul Malik yang dikenal sebagai ulama yang berbudi luhur, sikap lemah lembut terhadap siapa pun.

Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.

Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”

Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto.

Disarikan dari Buku Biografi Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, karya Sayid Muhdor, AST/Ft.AST

Senin, 07 Februari 2011

Makam Waliyullah Jepara

1. Syeh Suto Mangun Joyo - Desa Banyumanis, Kec. Donorojo
2. Syeh Lancing Sanjoyo - Desa Tulakan, Kec. Donorojo
3. Syeh Sawunggaling / Ki Ageng Keling - Desa Jlegong, Kec. Keling
4. Syeh Bono Keling - Desa Keling - Kec. Keling
5. Syeh Kertosuro / Balekambang - Ds.Jenggotan - Kec. Kembang
6. Syeh Ki Ageng Gede Bangsri - Desa Wedelan - Kec. Bangsri
7. Syeh Dimyati / R. Sukri - Desa Demeling - Kec. Mlonggo
8. Syeh Juru Sungging Prabangkoro - Desa Bondo Jepara
9. Syeh Syeh Ki Ageng Prabangkoro - Bandengan Jepara
10. Syeh Al Fakih Lop Lop - Bandengan Jepara
11. Syeh Meisin / Mbah wasi - Kuwasen Jepara
12. Syeh Wali Joko Lelono - Cumbring Jepara
13. Syeh Jenggala - Saripan Jepara
14. Syeh Pangeran Syarip - Saripan Jepara
15. Syeh Abdul Rohman / Sunan Pakis Aji - Potroyudan Jepara
16. Syeh wali Zaini - Makam gendong - Saripan Jepara
17. Syeh Ki Ageng Juminah - Mantingan Jepara
18. Syeh Ki Ageng Ladunni - Karang Kebagusan Jepara
19. Syeh Tubagus Kaffi - Karang Kebagusan Jepara
20. Syeh Wali Kramat - Dema'an Jepara
21. Sultan Hadlirin - Mantingan Jepara
22. Syeh Abdul Jalil - Mantingan Jepara
23. Pangeran Jaya Kandar - Bapangan Jepara
24. Syeh Abu Bakar - Pulau Panjang Jepara
25. Syeh Jogo Laut - Teluk awur Jepara
26. Yek Shodiq - Gotri, Pecangaan Jepara

Makam Waliyullah Magelang-Klaten-Jogja


1. Khoirin Dawud – Soko wetan, Tembayat, Klaten
2. Khasan Nawawi – Jabalekat, Tembayat, Klaten
3. Ki Maghrobi – Tinom, Klaten
4. Ki Wironoto, Wironatan, Kutoarjo
5. Syeh Subakir – Puncak Gn. Tidar, Magelang
6. Ki Mangku Abi – Kajoran, Grabak, Magelang
7. Ki Salim – Grabak, Magelang
8. Ki Langgeng – Cacaban, Magelang
9. K.H.Siroj – Payaman, Magelang
10.K.H.Dalhar – Muntilan, Magelang
11.Kiai Ageng Santri – Ngadiwono, Magelang
12.Ki Maksum – Punduh, Tempuran, Magelang
13.Ki Fugur – Kajoran, Magelang
14.Ki. Hj. Nur Muhammad – Ngadiwongso, Magelang
15.Syeh Bela Belo – Parang Tritis, Jogjakarta
16.Ki Panembahan Senopati – Sargede, Mataram, Jogjakarta

Makam Waliyullah Sulawesi-P. Buru


1. Ki Ageng Khodrat – Darat, Ambon
2. P. Diponegoro – Kanca, Menado Sulut
3. Ki Ageng Yusuf – Meltran, Sulut
4. Ki Ageng Kholil – Rambu , Pulau Buru

Makam Waliyullah Temanggung & Sekitarnya


1. Ki. P. Poerwonegoro – Purwosari Tretep Temanggung
2. Ki Trenggono – Muneng, Candiroto, Temanggung
3. Ki Abdullah – Nglarangan, Parakan, Temanggung
4. Ki Pandanaran – Bejen, Jumo, Temanggung
5. Ki Kendel Wesi – Jlapa, Kedu, Temanggung
6. Ki Prabu – Muncar, Parakan , Temanggung
7. Ki Prabu Makukuan – Kedu, Tretep, Temanggung
8. Ki Yahya – Parakan, Temanggung
9. Ki Dendo Yudo – Purwosari, Temanggung
10.Ki Rasyidi – Growo, Sukorejo, Temanggung
11.Ki Ageng Murhammad – Kranggan, Temanggung
12.Ki Ageng Bale – Balekerso, Kramat, Temanggung
13.Ki Ageng Krapyak- Gempol Temanggung
14.Syeh Sulaiman – Bojonegoro, Kedu, Temanggung
15.Syeh Patris - Bojonegoro, Kedu, Temanggung

Makam Waliyullah Kalimantan



1. Ki Ageng Sabri - Sintang, Kalbar
2. Ki Ageng Jonet - Basah, Kaltim
3. Ki Ageng Kosim - Banjar, Kalsel
4. Ki Ageng Mamaroh - Trucuk, Palangkaraya, Kalteng
5. Abu Musa Al Banjari - Kuantan, Mertapura, Ciamis Kalsel

Sabtu, 05 Februari 2011