“Kehendakmu menggapai maqom tajrid padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom asbab, hal itu merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu menduduki maqom asbab padahal Allah s.w.t mendudukkanmu di maqom tajrid berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.
Barangsiapa mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya. Begitulah bunyi sebuah ungkapan dari Hadits Nabi s.a.w. Oleh karena itu, manusia harus mengenal dirinya sendiri. Dalam kaitan mengenal diri sendiri ini, mengenal maqom hidup adalah bagian terpenting yang harus dilakukan manusia. Dengan mengenal maqom hidup, seorang hamba akan mampu mengisi segala aktifitas pengabdian hidupnya dengan benar, baik bagi diri sendiri, lingkungan maupun kepada Tuhannya. Apabila maqom hidup itu tidak dikenali, manusia akan mengalami kebingungan sehinga menjadi terjerumus dalam kerugian hidup yang fatal.
Maqom hidup itu ada dua, pertama: maqom tajrid dan kedua maqom asbab. Yang dimaksud maqom tajrid adalah ‘kedudukan hidup’, di mana dengan kedudukan itu sumber rizki (kebutuhan hidup) manusia dimudahkan oleh Allah s.w.t. Sumber kebutuhan hidup itu didatangkan dengan tanpa dicari dan diikhtiari. Meskipun datangnya rizki itu melalui sebab-sebab, namun sebab-sebab itupun merupakan sesuatu yang didatangkan dengan mudah.
Sebagai contoh kehidupan para ‘ulama suci lagi mulia. Setiap hari kegiatan mereka hanya mengurus santri dan murid-murid serta jama’ahnya, sehingga tidak kebagian waktu untuk memikirkan sumber rizki secara lahir. Namun ternyata kebutuhan hidup mereka mendapat kecukupan. Bahkan terkadang melebihi kecukupan hidup orang-orang yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Dengan maqom tajrid itu, seorang hamba yang ‘arifin hanya membaca sebab-sebab yang didatangkan, kemudian ditindaklanjuti dengan amal (ikhtiar).
Adapun maqom asbab, adalah suatu maqom dimana rizki seseorang tidak didatangkan kecuali melalui sebab-sebab yang diusahakan dan diikhtiari sendiri. Mereka tidak mendapatkan sumber kehidupan kecuali dari jalan ikhtiar yang dilakukan. Untuk itu mereka harus berikhtiar dan berusaha. Mencari dan menciptakan peluang supaya terbuka sebab-sebab baginya untuk mendapatkan rizki hidup. Setelah sebab-sebab itu terwujud, baru ditindaklanjuti dangan amal. Hal itu seperti merupakan keadaan yang dialami kebanyakan manusia.
Apabila kedua maqom tersebut dikaitkan dengan “usaha dan tawakkal”, sebagaimana yang diperintahkan Allah s.w.t dalam firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ber’azam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran; 159). Maka orang yang duduk di maqom tajrid adalah orang yang bertawakkal terlebih dahulu baru berusaha.
Maksudnya, dengan segala pengabdian hidup yang mereka jalani sebagai seorang tajrid, mereka juga harus mampu membaca keadaan. Ketika realita menunjukkan sebab-sebab untuk terbukanya sumber penghidupan, baru mereka ber-azam untuk menindaklanjutinya dengan ikhtiar.
Berbeda dengan orang yang duduk di maqom asbab. Orang tersebut harus ber-azam dahulu untuk membangun suatu sumber kehidupan, baik dari memulai menciptakan sebab-sebab sampai menindaklanjuti sebab itu dengan usaha dan perjuangan. Setelah usaha hidup itu berjalan dengan baik, untuk hasilnya, baru kemudian mereka bertawakkal.
Ibarat seorang permainan bola di lapangan, usaha hidup seorang tajrid adalah seperti orang yang menunggu bola datang. Setelah bola itu datang dan dikuasai, mereka kemudian harus memasukkannya ke gawang musuh. Sedangkan orang yang menerapkan maqom asbab, dari awal mereka harus mempunyai inisiatif penyerangan untuk menguasai bola, menggiring dan kemudian memasukkannya ke dalam gawang musuhnya. Jadi maqom tajrid ini bertawakkal dahulu baru berusaha sedangkan maqom asbab, berusaha dahulu baru bertawakkal.
Jangan Ingin Pindah Dari Satu Maqom Ke Maqom Lain
Asy-Syekh Ibnu Ath-Tho’illah r.a berkata: “Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal Allah mendudukkanmu di maqom asbab merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah mendudukkanmu di maqom tajrid berarti telah turun dari tingkat yang sangat tinggi”.
Maqom tajrid adalah maqom yang mulia, merupakan karunia besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Namun demikian, ketika pemiliknya masih hidup di dunia, keadaan tersebut, baik urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, akan mengalami gejala sebagaimana sifat kehidupan dunia pada umumnya. Yakni terjadi pasang surut seperti pasang surutnya air laut.
Ketika tajridnya sedang naik, maka rizki orang tajrid itupun ikut naik. Rizki mereka didatangkan bagaikan air laut yang sedang pasang. Sumbernya memancar terus-menerus seakan tidak bisa putus lagi. Namun ketika tajridnya sedang turun, mereka terkadang bahkan mengalami kekeringan yang amat sangat. Seperti musim kemarau panjang yang seakan tidak turun hujan lagi. Keadaan seperti ini bagi seorang tajrid merupakan bentuk ujian yang sangat berat. Betapa tidak, ketika dia harus menghadapi desakan kebutuhan realita yang tidak dapat dielakkan. Menghadapi tuntutan kebutuhan hidup sebagai seorang kepala rumah tangga. Mereka melihat kesulitan hidup yang dihadapi anak-anak dan istrinya, bahkan kadang-kadang dihadapkan pada masalah yang berat, anaknya sedang sakit keras misalnya. Padahal sedikitpun dia tidak dapat berusaha untuk membawanya ke rumah sakit karena tidak tersedianya sarana dan dana. Dalam keadaan seperti itu, seorang tajrid tetap harus menunggu sebab yang datang. Mereka tidak boleh mengusahakan datangnya sebab itu meski dihadapkan dengan kematian.
Seandainya mereka masih menduduki maqom asbab, barangkali masih dapat berusaha, walau hanya untuk mendapatkan pinjaman dari makhluk misalnya. Akan tetapi di maqom tajrid hal tersebut tidak boleh dilakukan. Ketika sebab-sebab yang pertama tidak sedang berada di depan mata, datangnya sebab tersebut tidak boleh diharapkan dan diusahakan dari makhluk. Apabila hal itu dilakukan berarti akan menurunkan mereka pada derajat maqom asbab.
Seorang maqom tajrid hanya dapat menunggu kepastian yang akan terjadi. Apapun keadaannya, yang demikian itu lebih baik baginya daripada harus menyandarkan harapan kepada makhluk. Hal itu sebagai konsekuensi maqom yang diduduki tersebut. Untuk itu, dalam keadaan yang bagaimanapun mereka harus mampu menentukan pilihan hidup, mana yang boleh diusahakan dan mana yang tidak.
Seorang tajrid harus mampu meredam gejolak hatinya sendiri. Sedikitpun mereka tidak boleh menyandarkan harapan untuk mendapatkan pertolongan kepada sebab-sebab, akan tetapi hanya kepada yang menyebabkan sebab-sebab. Meskipun ketika Allah menurunkan pertolongan-Nya, tentunya pertolongan itu datang melalui sebab-sebab. Namun demikian, datangnya sebab-sebab itu bukan dari arah yang dikehendaki dan bukan pula dari usahanya sendiri. Menghadapi keadaan seperti itu, kadang-kadang hati mereka sempat menjadi goyang, bahkan hampir-hampir putus asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar